Tidak seperti malam-malam yang lalu, tak ada cakap antara suami dan puannya.
Dialog suami dengan puannya, bukan dialog romantis ala ala muda mudi kekinian.
Tanpa kata bermajas ria, namun semua ucapnya terasa candu bagi satu sama lainnya.
Penekanan tiap sabdanya adalah takrif cinta.
Mungkin, bagi yang asing, itu tak bermakna.
Namun, itulah yang menjadikan mereka bertaut rasa.
Puan sembab menyeka mata, pedih
Dalam diamnya ia menyesapi
Menyusur tepian memori bersama suami.
Memaksa tersenyum pada yang dijumpai,
nyatanya getir kesedihan tak mampu ditutupi.
Sesekali memeluk kitab dalam dadanya,
menghela nafas dalam.
Kitabnya kembali dirapal, lagi dan lagi tanpa jeda.
Hingga kering tenggorokannya,
hingga habis tuturannya.
Berharap lantunnya sampai pada-Nya,
sebagai penawar pada yg dirindunya.
puan masih merasakan jemarinya tergenggam erat sang suami,
menghantarkannya pada malam dengan mimpi.
Merasakan kedamaian yang diharapkannya abadi.
Puan ingat betul, kekasihnya senantiasa bersenandung memuji baginda-Nya,
setiap waktunya, bahkan di antara sadar dan tidak sadarnya.
Meresapi setiap makna kata agungnya pujian,
hingga tak jarang netranya menggenang tirta.
Itu yang puan tak pernah lupa.
Kini, puan memeluk segunung melati,
Pusara kekasih yang puan cinta mati,
Dialognya, bersama nuraninya sendiri.
Melangitkan doa doa benar dari hati.
Suami telah disambut bahagia Baginda Nabi.
“Umi…”,
Lirih gadisnya menuntun puan berdiri.
(Teruntuk Umi Nyai dan Alm. Abah Yai)
Brebes, 2 Juli 2023
Penulis : Ustadzah Bahiyatul Musfaidah, S.Pd.
0 Comments